Sabtu, 10 Oktober 2020

Assalammualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Halo semuanya!
 
Alhamdulillah hari ini gue kembali ngepost di blog satu-satunya ini setelah 3 bulan hiatus. Mulai ada urusan sana-sini, mantengin info sana-sini, dan lagi rada rame juga disana-sini. Ohiya, semoga kalian semua yang baca tulisan ini selalu diberikan keselamatan dan perlindungan dimanapun berada.
 
© YusufSangdes - www.freepik.com

Tujuh bulan sudah teman-teman!
 
Iya, tujuh bulan sudah kita ada dimasa pagebluk Covid-19. Hitungan waktu yang nggak sebentar, tapi nggak disangka juga udah masuk bulan yang ketujuh. Keadaan yang merubah segala macam lini kehidupan manusia. Kegiatan manusia berubah, ekonomi terpukul, sosial dibatasi, dan banyak hal lain. Rasanya kaya baru kemaren, Covid-19 secara resmi diumumin masuk dan menjangkiti salah satu orang Indonesia, dan sekarang ditujuh bulan kemudian sudah 300.000+ orang yang terpapar. 
 
Awal Maret saat semua kegiatan masih berjalan normal, sayup-sayup kekhawatiran virus ini juga mulai datang. Hingga akhirnya, terkonfirmasi tiga orang pertama yang kena. Waktu itu, gue masih jauh dari ibukota dan berusaha untuk tetap biasa aja. Padahal katanya di Jakarta mendadak panik. Banyak yang ngeborong bahan pokok, masker habis, hand sanitizer kosong, harganya juga jadi gila-gilaan. Beruntung, waktu itu kondisi keluarga juga tenang ngadepin kasus perdana ini.

Tapi setelah itu, semua rasanya cepat berubah

Minggu pertama dan kedua gue masih sempat liburan ke Solo dan Jogja. Waktu mau berangkat, gue masih nemuin masker berharga normal disalah satu mini market di Malang. Tapi, berhubung gue nggak begitu suka bermasker dan selalu merasa masker bikin pengap walhasil ya nggak gue beli. Keadaan di dua kota itu masih normal saat itu. Setidaknya semua tempat wisata, pusat belanja dan keramaian masih buka. Belum ada, atau mungkin cuma beberapa orang yang menggunakan masker. Hingga akhirnya saat gue datang ke Kraton Jogja pas acara Tingalan Jumenengan Dalem, baru itu pertama kali gue melihat ada hand sanitizer yang tersedia. Setelah hampir seminggu liburan, gue kembali lagi ke Malang. Dua hari di Malang, seorang teman gue ngasi tau kalau kabarnya Solo jadi zona merah. Selang sehari kemudian, seorang mahasiswa di kampus dikabarkan terpapar. Malam harinya, gue kumpul-kumpul terakhir dengan beberapa teman dan mungkin pertama kalinya kita mulai nggak bersentuhan (bersalaman). Akhir minggu itu, awalnya gue sempet berniat untuk datang ke wisuda salah satu temen di Surabaya. Tapi berhubung keluarga gue menyusul ke Malang untuk memulangkan gue sekaligus pindahan, niat itu batal. 
 
Hari Minggu, 15 Maret 2020 mungkin jadi hari yang terasa serba cepat dan mengejutkan. Paginya gue dapet kabar kalau wisuda temen gue dibatalkan. Dihari itu juga beberapa pemerintah daerah mengumumkan penutupan sekolah. Serta dihari yang sama, pemerintah pusat meminta masyarakat untuk belajar dari rumah, bekerja dari rumah, dan beribadah dari rumah. Hari itu juga, gue kembali ke Jakarta, dan dalam perjalanan pulang gue sempet mampir di Solo untuk makan siang. Hal yang pertama terlintas, hanya berselang seminggu keadaan berubah cepat. Sebelum makan siang, itulah kali pertama gue membiasakan mencuci tangan sebelum makan dan setiap saat setelah keluar mobil.

Sesampainya di Jakarta, gue berinisiatif telfon call center Covid-19 Kemenkes terkait perjalanan seminggu terakhir. Jawabannya waktu itu, tetap tenang dan hubungi kembali kalau ada gejala. Dua hari kemudian, gue masih nemenin Eyang gue kontrol rutin ke rumah sakit dan sudah dengan protokol kesehatan yang ada. Minggu berikutnya, gue hanya keluar rumah untuk nganter jemput nyokap, berbelanja, dan ngurus beberapa hal. Sampai akhirnya, PSBB tiba dan semakin merubah banyak hal.

Sejujurnya, gue nggak merasakan bertemu dengan banyak teman setelah tiba di Jakarta. Padahal rasanya pengen banget ketemu temen-temen lama, main kesana-sini, nongkrong, dan jalan-jalan. Sejak saat itu juga, gue sangat membatasi segala kegiatan. Mulai membiasakan pakai masker setiap ke luar rumah, sekalipun cuma berjarak beberapa meter. Setiap kali berkendara dengan motor, gue mulai memakai sarung tangan yang awalnya cuma dianggap biar tangan nggak hitam kena matahari. Setelah itu, Ramadhan dan Syawal datang dengan keistimewaannya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, momen kesakralan ibadah dilakukan semuanya di rumah. Momen lebaran yang identik dengan pulang kampung, beralih ke telfon dan video call. Walaupun nangis-nangisnya tetep ada.


Selepas itu, narasi new normal datang

PSBB dan segala pembatasan kegiatan masyarakat mulai dilonggarkan. Orang bisa bepergian lagi, sektor usaha juga mulai berjalan, dan beberapa temen-temen gue juga mulai masuk kantor. Bahkan, 14 Juni gue sekeluarga sudah mulai "berani" pergi ke Puncak yang niatnya sekedar sholat di Masjid At Taawun. Diluar dugaan, ternyata ribuan orang pergi ke Puncak dan jalanan macet. Niat awal akhirnya batal dan kemudian puter balik lagi ke Jakarta. Hari itulah, pertama kalinya gue "dihakimi massa" karena pamer kalo ke Puncak. Selang seminggu kemudian, gue sekeluarga mampir ke rumah salah satu saudara di Bekasi, dan terheran-heran kalau hampir nggak ada satupun orang yang nurutin protokol kesehatan. Bahkan dibilang, ya kaya Covid-19 ini nggak ada. Akhir Juni, gue sempet mampir ke Perpusnas untuk refreshing sekaligus minjem buku. Rasanya seneng banget, bisa balik lagi jalan-jalan motoran di Jakarta dan main kesana. 

Sampai pada awal Juli, gue ngerasa sesak nafas. Disaat yang sama, Eyang gue batuk dan pilek. Saat itu juga gue ke Puskesmas dan akhirnya dicek darah. Momen pas periksa, gue ngerasa takut dan malu karena seenak jidat pergi kesana kemari disaat pandemi masih berjalan. Beruntungnya, gue masih inget dan mencatat kemana aja gue pergi dalam 2 minggu terakhir. Alhamdulillah, hasil tes darah dikatakan gue terkena infeksi bakteri, bukan virus, walaupun sayangnya nggak dilakukan tes Covid. Sejak saat itu, gue mulai kembali membatasi kegiatan. Tiga orang sahabat gue menikah, dan dengan berat hati gue nggak datang.

Agustus datang, kasus Covid-19 makin menggila

Orang terpapar Covid-19 yang awalnya terasa jauh, lama-lama mendekat. Seorang sahabat baik gue tertular di kota tempat dia merantau. Dua orang tetangga yang cuma berbeda tiga rumah juga terpapar. Bahkan, salah satunya meninggal dunia setelah sebulan dirawat. Beberapa teman, satu persatu isolasi mandiri di rumah dan juga di Wisma Atlet. Setiap kali ngeliat tivi dan media sosial, beberapa kali pecah rekor kasus baru di Indonesia. Sayangnya, ditengah kondisi yang lagi nggak membaik itu, kesadaran dan kepatuhan orang-orang mulai berkurang. Beberapa orang mulai nggak pakai masker lagi kemanapun mereka pergi, mulai kumpul-kumpul lagi, kebiasaan cuci tangan setiap saat mulai berkurang. Beberapa waktu bahkan mulai ada orang-orang yang meragukan jumlah kasus, jumlah pasien, dan manipulasi kasus kematian. 

Sejujurnya, gue nggak masalah dengan orang-orang yang harus ke luar rumah dengan urusan yang penting, seperti bekerja, belajar, belanja, dan yang lain. Hal yang masih sulit gue terima adalah kegiatan kumpul-kumpul yang seringkali nggak mematuhi protokol kesehatan. Banyak yang seakan-akan ngerasa aman kemudian nongkrong-nongkrong, ngobrol sampai tengah malam, jalan-jalan kemana-mana, dan ironisnya banyak yang nggak pakai masker dan menjaga jarak. Mungkin yang gue omongin ini kesannya munafik, karena kita semua udah dalam keadaan yang jenuh dikurung berbulan-bulan. Gue pun masih beberapa kali ke luar rumah, berinteraksi sama beberapa orang, tapi sebatas urusan pekerjaan. Sekalipun gue bepergian ke luar rumah atau ke luar kota, itu semua bareng-bareng keluarga. Bahkan, sampai detik ini cuma satu orang temen yang gue temui selama di Jakarta. Kalau kemudian dianggap gue nggak punya teman atau anti-sosial, nyatanya banyak temen SD, SMP, SMA, kuliah, dan medsos yang ngajak ketemu dan nongkrong. Semuanya belum ada satupun yang mau gue temui sampai saat ini. Kalau kemudian gue terkesan paranoid, nyatanya gue masih mau untuk ke luar rumah, berada dalam keramaian, bertemu dengan beberapa orang, tetapi dalam konteks pekerjaan. 

Sebenernya yang gue sampaikan diatas bukan berangkat dari rasa iri atas apa yang orang lain lakukan. Manusia memang makhluk sosial, dan interaksi sosial jadi elemennya. Tetapi ditengah kondisi ini, penyesuaianlah yang jadi solusi. Kita semua masih ingat, ketika awal pandemi ramai semua orang zoom meeting, video call whatsapp, dan platform lainnya. Semua bisa melakukan interaksi sosial melalui media itu. Kita juga masih ingat, diawal pandemi semua solid memberikan dukungan kepada banyak orang, memberikan konten edukasi, menggalang dana, sampai ngikutin challenge apapun demi tetap ada di rumah. Semua itu harusnya bisa tetap dilakukan sampai sekarang. 

Seorang sahabat gue beberapa bulan lalu sempet bilang, "Yaudahlah kita kuat-kuatan aja sama corona, seleksi alam aja udah". Ternyata, dia yang jadi bagian dari seleksi alam. Seorang teman juga pernah mengatakan kasus yang ada tidak sebanyak yang diberitakan. Tak lama, teman gue itu bergejala dan terpaksa istirahat di rumah, dan Alhamdulillah bukan Covid. Seorang ustad ditengah khutbah Jumat pernah berkata, Covid ini datang dari Tuhan dan sudah ada dalam takdir mereka yang terpapar. Tetapi, tetap menaati protokol dan patuh arahan pemerintah adalah bentuk ikhtiar manusia. Mungkin tulisan ini muncul atas rasa gregetan gue dan beberapa orang yang masih bertahan dalam protokol kesehatan. Ditambah lagi, apa yang dilakukan pemerintah terkesan memasrahkan diri pada vaksin yang masih dalam proses, dan belum bisa dijamin kapan kita semua bisa mengakses. 

Ditengah kondisi yang ada sekarang, memang cuma diri kita yang bisa melindungi diri kita sendiri. Ketika Covid-19 dianggap sebuah seleksi alam, gue berharap siapapun yang menganggap itu bisa lolos dari seleksi. Ketika beberapa orang kembali tersadar akan bahaya dan mulai patuh pada protokol walaupun harus disentil dengan sahabat atau keluarga dekatnya yang terpapar dahulu, percayalah itu bukan langkah yang terlambat. Ketika mengganggap diri kita sehat, lalu merasa bebas berinteraksi dengan orang, pastikan orang lain juga dalam keadaan yang sehat dan disiplin. Ketika ada yang bertanya bolehkah kumpul-kumpul di rumah, secara aturan tidak dilarang. Tetapi, yakinkah kita mereka yang bertemu dengan kita dalam keadaan yang baik-baik saja, atau justru mereka membawa tamu yang tidak diundang. Bersahabat dengan virus bukan berarti menerima begitu saja keadaan yang ada.

Pada akhirnya, tulisan ini gue buat bukan untuk menakuti atau mengekspresikan berlebihan apa yang gue rasakan. Tapi, untuk mengingatkan kita masih berjuang, dan sudah berada pada bulan ketujuh. Kita juga belum tahu, sampai kapan perjuangan ini. Kita juga tidak tahu, apa kita masih bertahan sampai akhir perjuangan nanti. 

Terimakasih buat semuanya yang udah membaca
Semoga selalu dalam kesehatan dan perlindungan. Selalu patuhi protokol kesehatan, saling mengingatkan, dan jangan takut berlebihan. 

Wassalammualaikum!

FAUZAN BERCERITA . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates