Belum lama, gue memutuskan untuk sementara menonaktifkan salah satu media sosial yang sebenarnya sering banget dibuka dan cukup menyenangkan. Di media sosial itu juga yang mungkin dulu hanya diikuti beberapa orang, dan kini jadi banyak orang yang ngikutin dan tau tentang diri gue. Terkadang media sosial ini juga jadi sebuah pembuktian terhadap eksistensi seseorang di dunia maya. Walaupun acuannya hanya sekedar berapa banyak orang yang menyukai dan mengomentari isi yang kita unggah

Sebelum akhirnya benar-benar break, sebuah pertanyaan dari aplikasi ini muncul. “Apa alasan Anda untuk menonaktifkan sementara?” Kemudian muncullah berbagai alasan untuk menjawab pertanyaan itu. Salah satunya, “just need a break”. Gue senyum ngeliat alasan ini, dan akhirnya gue pun ikut memencet alasan itu dan benar-benar menonaktifkan sosial media ini. Kalau boleh kilas balik, gue kembali berada dalam titik bosan dan lelah untuk mengakses media ini. Ini bukan kali pertama, mungkin sejak dua tahun ini keinginan untuk bermain dalam sosmed mulai berkurang

 
Dulu, setiap kali buka media maya ini muncul rasa penasaran, tertarik, bahagia, informatif. Tapi, belakangan apa yang dulu dirasa berubah jadi sesuatu yang sama sekali jauh berbeda. Tiap kali melihat sebuah konten yang muncul, ada rasa dengki, iri, sedih, bahkan marah. Padahal acap kali konten itu nggak berkaitan dengan diri kita ataupun kehidupan sehari-hari kita sendiri. Terkadang juga, konten-konten yang ada memunculkan rasa kepo berlebihan, yang berakhir dengan sebuah kekecewaan. Belum lagi prasangka-prasangka yang muncul atas apa yang orang lain tampilkan disana

Sebenarnya media ini sudah memberi ruang bagi kita untuk tidak merasa terganggu, seperti mute activity. Tapi apakah mereka semua harus di mute segala aktivitasnya. Gue juga bukan orang yang tega untuk mengambil cara lain, yaitu block account. Bersyukur, gawai yang setia mendampingi keadaannya rusak sehingga waktu untuk bersosial media menjadi sangat berkurang. Ditambah lagi akses internet yang terbatas, maklum tidak selalu ada sambungan wifi dan berhemat menggunakan akses data internet. Tapi tetap saja, walau hanya 5-10 menit per hari untuk membuka aplikasi tersebut, mampu membawa rasa aneh itu muncul lagi

Emang sih, gue masih dalam keadaan yang nggak benar-benar menutup akun selamanya. Ya, hanya memberi jeda beberapa waktu dan masih memantau dengan cara yang lain. Tapi setidaknya cara ini menjauhkan gue dari hal-hal yang berlebihan, at least nggak bisa reply postingan atau buka profil seseorang karena diprotect akunnya. Kalaupun dianggap hilang dari salah satu media sosial membuat nggak update sama suatu hal, gue akhirnya lebih dekat dengan berita online yang dulu biasanya sering dibaca. Gue nggak terlalu ngerasa bersalah, karena informasi yang terlewat seringkali nggak penting juga.

Sesungguhnya menghilang dari salah satu media sosial bukan merupakan sebuah kesalahan, apalagi dosa besar. Sebuah kalimat mengingatkan bahwa kita tidak bisa mengatur orang lain, tapi kita bisa mengatur diri kita sendiri. Alasan itu yang akhirnya membuat gue lebih baik tidak bersosial media sementara sebagai bentuk “mengatur diri sendiri”. Setidaknya gue merasa lebih baik, lebih tenang, dan perlahan bisa menikmati hal-hal yang dulu banyak terlewat.

Dan jawaban orang-orang yang bertanya “kemana aja” adalah:
“gue nggak kemana-mana”
“Tergantung lo nyari gue dimana?”

Kemudian ditutup dengan sebuah pertemuan dan ngobrol panjang yang sebelumnya mungkin jarang terjadi

Saat ini mungkin gue kembali, tapi suatu saat mungkin gue akan kembali menonaktifkannya lagi. Tapi, gue nggak akan menonaktifkan diri dari dunia nyata
So, temui gue di dunia nyata aja😊




 
And then, thanks to Kumparan dan Mbak Marissa Anita ;)